"Bekerjalah, anakku, sebab semesta menginginkan bekerja, bukan menghafal. Mencoba dan teruslah mencoba, sampai engkau menemukan legenda hidupmu sendiri. Di dalam kemiskinan dan keterbatasan, janganlah kita membuat pembenaran untuk kalah atau menyerah," ucap Bu Kasmi kepada semua muridnya di Madrasah Kampung Sawah.
Bu Kasmi benar. Kemiskinan dan keterbatasan (baca: sarana dan prasarana) janganlah dijadikan alasan untuk kalah atau menyerah. Motivasi Bu Kasmi kepada anak didiknya itu bisa ditemui di halaman novel Sang Pelopor karya Alang-alang Timur, yang edar pada Desember 2008.
Dari 220 juta penduduk Indonesia, sebanyak 33 juta di antaranya hidup dalam lautan kemiskinan. Miskin identik dengan ketidakmampuan mengakses sumber-sumber daya alam, dana, dan jaringan. Kemiskinan membuat mereka tak berdaya secara sosial dan ekonomi.
Meski dari sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama (sembilan tahun) sudah digratiskan oleh pemerintah, para keluarga miskin tetap saja tak mampu membawa anak-anaknya ke sekolah. Lihatlah di jalan-jalan raya di kota-kota besar, betapa jamak pemandangan anak-anak usia sekolah --bahkan juga anak prasekolah-- dieksploitasi untuk jadi pengemis, pengamen, pemulung, dan seterusnya. Belum terasa sentuhan tangan-tangan pemerintah sebagaimana diamanatkan konstitusi. Pada saat bersamaan, peran lembaga swadaya masyarakat dan swasta dalam menggapai mereka masih minim.
Bagi rakyat miskin, biaya sekolah gratis saja belumlah cukup. Mereka masih memerlukan modal untuk bersekolah, berupa pakaian, tas, buku, dan alat-alat tulis lainnya. Ini belum termasuk biaya transportasi dan bekal selama proses belajar. Jalan pintas yang mereka lakukan adalah: lebih baik membantu orangtua untuk mencari sesuap nasi. Jadilah mereka anak-anak jalanan di usia yang sangat dini. Inilah problem yang dialami bangsa Indonesia, sebuah bangsa besar yang tak pernah sepi dari masalah, baik ekonomi, sosial, maupun politik!
Problem yang dialami bangsa ini tak bisa dilepaskan dari dunia pendidikan. Dalam hiruk-pikuk politik nasional pasca-pemilu legislatif dan menyongsong pemilihan presiden pada Juli mendatang, kita perlu membuka lembaran sejarah para tokoh di berbagai bidang, dari ilmu-ilmu sosial, agama, sampai teknologi informasi.
Sejarah bangsa ini adalah sejarah orang-orang yang gigih dalam memperjuangkan cita-cita luhur guna menjunjung harkat dan martabat kemanusiaan. Tengoklah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara (2 Mei 1889-26 April 1959), yang hari kelahirannya diperingati sebagai Hari Pendidikan. Setelah keluar dari STOVIA (sekolah dokter bumiputra) karena sakit, Soewardi mengabdikan diri sebagai penulis dan wartawan untuk beberapa surat kabar, antara lain Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia dikenal sebagai wartawan yang gigih, bahasanya komunikatif, dan semangat antikolonialnya tajam menghunjam.
Perjuangannya tidak hanya lewat tulisan. Soewardi juga aktif di partai politik. Ketika Boedi Oetomo berdiri pada 1908, Soewardi ikut terlibat. Ia aktif di bagian propaganda dan bertugas menyosialisasikan gagasan tentang pentingnya kesadaran berbangsa dan bernegara secara mandiri.
Soewardi juga menjadi anggota Insulinde, organisasi multietnik yang didominasi kaum indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda. Organisasi ini dimotori Ernest Douwes Dekker. Tatkala Dekker mendirikan Indische Partij, Soewardi pun bergabung.
Puncak kejengkelan Belanda terjadi ketika Soewardi menulis di surat kabar berbahasa Belanda, De Expres, pimpinan Dekker, pada 1913, dengan judul "Als ik eens Nederlander was" ("Seandainya aku seorang Belanda"). Tulisan ini mengkritik habis Pemerintah Belanda yang menyelenggarakan pesta kemerdekaan di negeri yang kemerdekaannya dirampas.
Keruan saja, Pemerintah Belanda marah. Atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg, Soewardi pun ditangkap. Singkat cerita, bersama Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo --juga tokoh pergerakan-- Soewardi diasingkan ke Negeri Belanda. Di "negeri kincir angin" itulah ia memperdalam ilmu pendidikan dan berhasil mengantongi Europeesche Akte, semacam ijazah pendidikan yang cukup bergengsi di kala itu.
September 1919, Soewardi kembali ke Tanah Air. Pada 3 Juli 1922, ia mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa. Tujuh tahun kemudian, ketika usianya genap 40 tahun, Soewardi mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Pada saat itu juga, gelar kebangsawanannya dilepaskan. Baginya, dengan melepaskan gelar kebangsawanannya itu, ia lebih dekat dengan rakyat yang diperjuangkannya, baik jiwa maupun raganya. Inilah pemimpin sejati, sejatinya tokoh yang lebih banyak berkarya dan tak silau oleh sederet gelar.
Ki Hadjar Dewantara telah mengajari kita betapa sebuah cita-cita itu perlu diperjuangkan, bukan datang dengan sendirinya, bukan pula hadir sebagai hadiah. Ki Hadjar tidak sendirian. Masih banyak anak bangsa yang namanya terukir dengan tinta emas. Datang dari berbagai latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial. Mereka adalah pelopor di bidangnya, dengan kegigihan dan keberanian yang tak kenal menyerah, apalagi kalah. Merekalah sumber inspirasi yang tak pernah kering untuk ditimba, guna terwujudnya Indonesia emas yang dicita-citakan. Dan mereka berjuang lewat dunia pendidikan.
Lalu, apa yang diperlukan dari bangsa yang besar ini? Yang dibutuhkan adalah pemimpin, bukan sekadar manajer! Ya, menurut Seth Godin, penulis buku laris Tribes; We Need You to Lead Us, pemimpin memiliki pengikut, sedangkan manajer memiliki karyawan. “Manajer menciptakan produk biasa. Pemimpin menciptakan perubahan,” tulis Godin.
Perubahan, inovasi, dan kreasi terus ditumbuhkembangkan guna menciptakan prestasi. Untuk mencapainya, diperlukan tiga langkah: memotivasi, menghubungkan, dan membuat terobosan. Dan itu dibutuhkan pemimpin, bukan sekadar manajer, bukan pula sekadar politikus.
Karena itu, jadilah pemimpin, sekecil apa pun bentuk kepemimpinan Anda, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim:
"Setiap kamu adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Imam adalah pemimpin dalam keluarganya, bertanggung jawab tentang kepemimpinannya. Laki-laki itu pemimpin, bertanggung jawab tentang kepemimpinannya. Wanita itu pemimpin dalam rumah tangganya dan bertanggung jawab tentang kepemimpinannya. Khadam itu pemimpin bagi harta majikannya, bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya."
Herry Mohammad
[Mukadimah, Gatra Edisi Khusus Beredar 30 April 2009]
Thursday, April 30, 2009
Sang Pelopor
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment