Friday, November 20, 2009

Knalpot Kelas Dunia dari Purbalingga

Knalpot
Kelas Dunia Onderdil Purbalingga

Rumah kelir hijau di Desa Patemon, Bojongsari, Purbalingga, Jawa Tengah, itu terlihat sederhana. Namun dari rumah milik Agus Adi Atmaja itulah lahir perlengkapan otomotif kelas dunia. Tak kurang dari merek mewah, seperti Mercedes-Benz dan turunan modifikasinya semacam AMG dan Remus, telah menggunakan produk buatan pria berumur 41 tahun yang dikenal dengan nama Agus Knalpot itu.

Dari luar, tidak ada petunjuk bahwa rumah Agus itu sentra pembuatan onderdil kendaraan. Hanya, ketika memasuki ruang tamu, mulai terlihat adanya kesibukan kerja. Suara besi beradu terdengar berasal dari bagian belakang rumah yang telah dirombak menjadi bengkel pembuatan knalpot itu.

Bengkel knalpot yang tidak terlampau luas itu terhitung sederhana. Lantainya masih plester, kotor dengan pecahan besi dan stainless steel di mana-mana. Satu-satunya alat berat hanya alat pres besi tua. Di satu sudut, di sebuah meja, berjejer knalpot warna perak mengilat bergaya sporty elegan.

Agus mempekerjakan sembilan pemuda lokal. Ketika Gatra berkunjung ke bengkel itu, mereka sedang membentuk lempeng-lempeng stainless steel menjadi bentuk oval dengan godam. Ada pula yang sedang mengelas dan menghaluskan knalpot-knalpot setengah jadi.

Para pemuda itu bekerja dengan santai, sesekali diselingi guyonan. ''Wah, mau masuk koran lagi,'' ujar seorang pekerja ketika difoto.

Agus menamakan bengkelnya Vanvolker Enterprise. Nama ini dicomot dari nama dua putranya: Valiant, 8 tahun, dan Rigel Volker, 2 tahun. Vanvolker juga dipakai sebagai merek knalpot bikinannya. Ia mengaku telah membuat 19 jenis knalpot atas nama Vanvolker, meski hanya 12 macam yang efektif diproduksi.

Agus sendiri yang mendesain bahkan membuat perkakas bengkel, seperti alat pres stainless steel. ''Semua knalpotnya buatan tangan atau hand made,'' kata Agus.

Kebanyakan knalpot Agus digunakan untuk mesin kendaraan berkapasitas besar, di atas 2.000 cc, termasuk untuk motor gede. Untuk mobil, knalpot Agus dipakai oleh mobil-mobil kelas menengah atas, terutama tipe sport. Meksi begitu, Agus juga membuat knalpot untuk mobil-mobil biasa, misalnya merek Toyota dan Daihatsu.

Agus mengklaim, knalpot bikinannya paling bagus. Tak mengherankan jika usahanya terlihat paling moncer se-Purbalingga. Meski punya merek sendiri, Agus sering membikin knalpot merek lain yang lebih kondang. ''Itu karena konsumen yang meminta. Mereka pingin merek terkenal dan lebih gaya. Jadi, saya diminta menjiplak dan membajak,'' tutur Agus yang asli Purbalingga, dengan logat Banyumasan yang amat kental.

***

Agus memulai usaha pada puncak krisis moneter, tahun 1998-1999. Ketika itu, daerah Sayangan, Purbalingga, menjadi sentra knalpot sejak 1970-an, dipelopori oleh Sultoni. Namun bengkel di sana kebanyakan membuat knalpot dari bahan logam bekas.

Sebelumnya, sejak 1950-an, kawasan itu memang terkenal sebagai pusat kerajinan logam. ''Pada pertengahan 1990-an, bisnis knalpot Sayangan dalam masa keemasan,'' kata Agus. Namun, pada 1995, usaha knalpot di Sayangan mulai turun. Tatkala krisis moneter mendera, sentra knalpot di Purbalingga benar-benar kolaps.

Kondisi itu, menurut Agus, lantaran terjadi kejenuhan pasar serta tiadanya inovasi produk dan manajemen. Nah, beberapa pemain baru, termasuk Agus, muncul dan melakukan beberapa inovasi. ''Bahan, desain, manajemen, sampai pemasaran dibuat dengan gaya baru,'' kata lulusan STM Purbalingga dan jebolan fakultas teknik sebuah kampus di Solo serta desain ITB itu.

Usaha produksi knalpot-knalpot bajakan, seperti merek Remus dan HKS, di samping merek Vanvolker, terus berkembang. Bila pada awal usaha Agus menggunakan bahan dari drum bekas, sejak 2004 knalpot buatannya memakai bahan stainless steel. Bahannya dipasok sebuah pabrikan di Jakarta, dengan harga terendah se-Indonesia.

Untuk produksi, kini ia menghabiskan 1 ton stainless steel dalam waktu dua bulan. Dengan 10 karyawan, kapasitas produksinya bisa didongkrak hingga 600 knalpot per bulan.

Harga jualnya variatif. Mulai Rp 35.000-Rp 45.000 untuk knalpot kecil hingga Rp 350.000-Rp 550.000 untuk knalpot besar dan sedang. Untuk pesanan khusus, seperti knalpot Harley Davidson, harganya bisa mencapai Rp 1,8 juta per knalpot. Sayang, Agus tidak bersedia menyebutkan penghasilan bersihnya dalam sebulan.

Agus menjalin kerja sama dengan tujuh hingga delapan pemasar. Jika pada awal usaha ia hanya memasarkan produknya di Bali dan Bandung, kini pasarannya meluas ke hampir semua kota di Jawa, Sumatera, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara Barat. Menurut dia, pasokan tiap daerah selalu kurang. ''Bali, misalya, per bulan hanya dikirim 80 knalpot, padahal kebutuhannya bisa dua kali lipat,'' ungkap Agus.

Untuk meluaskan pasar, Agus sering ikut pameran, terutama di Jakarta. Pada 2004, ia bertemu wakil Mercedes-Benz di Jakarta dan ditawari untuk membikin knalpotmobil Mercy. ''Mungkin knalpot buatan saya dianggap layak,'' katanya. Agus menyanggupi untuk menangani proses pembuatannya, sedangkan pengadaan bahan dan desainnya menjadi tanggung jawab pemesan.

Pada saat itu, Agus dijanjikan pemesanan berlangsung dua tahap. Selang waktunya lima tahun, sesuai dengan jangka waktu peluncuran seri mobil baru. Pada tahap pertama, dibuat 2.000 knalpot merek AMG untuk 1.000 unit mobil Mercy dalam jangka waktu satu tahun.Harga jualnya Rp 450.000 per knalpot dan Agus menerima fee 10% dari total biaya pembuatan (processing cost). Setelah jadi, knalpot itu dikirim ke Jakarta untuk diekspor ke Jerman.

Namun, kata Agus, apresiasi masyarakat Indonesia pada produk lokal masih kurang. Ini terbukti lantaran banyak konsumen Mercedes-Benz yang komplain karena knalpotnya menggunakan produk lokal. ''Mestinya kan bangga produk lokal dipakai untuk mobil Mercy,'' ujarnya.

Selain membikin knalpot untuk Mercy, pada 2008 Agus juga mengirim 50 knalpot per bulan ke Italia. ''Kemungkinan untukFerrari danLamborghini karena order ini hanya untuk level komunitas mobil sport di sana,'' ungkapnya. Menurut Agus, pabrikan dari dua negara itu sudah kesengsem pada knalpot produksinya.

***

Pada pertengahan 2009, pihak Mercedes kembali mengorder Agus Knalpot. Jumlah ordernya mencapai 5.000 knalpot. Tapi Agus menolak lantaran sudah kewalahan melayani permintaan pasar. Selain lebih ribet dan tidak fleksibel, nilai ordernya juga tidak sebanding dengan seluruh nilai pasar. Ia khawatir, kalau menerima pesanan Mercy, pasar yang telah berkembang jadi terbengkalai.

Pada saat ini, Agus mengaku tak menghadapi kendala dalam berusaha. Soalnya, ia menjalankannya dengan santai. ''Saya sudah merasa lebih dari cukup, ha,ha, ha...,'' kata Agus yang hobi memancing itu.

Ia mengaku, usahanya pernah mendapat bimbingan dari LSM asing, termasuk GTZ dari Jerman dan USAID. Menurut dia, pemerintah juga pernah membantu, yakni empat alat powerpress dari Dirjen Industri Kecil Menengah, Departemen Perindustrian, yang disalurkan via Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purbalingga.

Agus mengenang, pada 2005 Pemkab Purbalingga pernah menawarkan potensi produksi knalpot daerahnya ke Astra. Tapi pihak Astra menampik. Namun, tak lama kemudian, perwakilan Astra datang menemui Agus dan menawarkan kerja sama. Tapi Agus menolaknya. Pun demikian dengan tawaran dari Djarum Black. ''Menyita waktu, tapi kurang menguntungkan,'' ujarnya.

Agus mengaku terus melakukan inovasi. Yang terakhir, ia menciptkan knalpot dua moncong yang dilabeli merek Vanvolker. Knalpot untuk sepeda motor itu, kata dia, sudah diuji coba bolak-balik antara Pateman dan Purwokerto, sekitar 20 kilometer, dan knalpotnya tidak terasa panas.

Itu dimungkinkan lantaran Agus menghilangkan sejumlah sekat dalam knalpot yang berfungsi menghilangkan raungan suara mesin. Padahal, menurut Agus, derum itu bisa dihilangkan tanpa harus menambahkan banyak sekat. Nah, mengapa tidak dikembangkan dan dipasarkan? ''Tunggu kalau pas butuh duit, ha, ha, ha...,'' kata Agus seraya terbahak.

Heru Pamuji, dan Arif Koes Hernawan (Yogyakarta)
[Ekonomi, Gatra Nomor 52 Beredar Kamis, 5 November 2009]
Baca Selengkapnya......

Wednesday, November 4, 2009

Tekanan Melalui Facebook

melalui facebook Masyarakat Indonesia bersatu melawan ketidakadilan sebuah sistim, seperti ditulis dibanyak media di Indonesia, seperti contoh Media Indonesia menulis dalam Editorialnya hari ini 04 Oktober 2009.

Tekanan Melalui Facebook Baca Selengkapnya......