Sunday, January 10, 2010

Politik Nahdliyyin Pasca-Gus Dur

Meninggalnya tokoh utama kalangan nahdliyyin dan guru besar nilai-nilai kebangsaan kita, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), akhir Desember lalu, tentu tak perlu disesali. Selain ia sudah berusia lanjut, 69 tahun, dengan kondisi yang tak sehat lagi, juga dedikasinya pada masyarakat, agama, dan negara yang dirasakan semua pihak. Kepergian Gus Dur memenuhi panggilan mutlak Sang Khalik itu tak perlu diratapi.

Sebab sebenarnya kita hanya kehilangan ragawi seorang figur. Sedangkan pemikiran dan roh pengabdiannya masih terus bersama masyarakat bangsa ini. Namun, kalau mau jujur diakui, kepergian Gus Dur itu masih menyisakan sejumlah problem psiko-sosio-politik bagi sebagian komunitas dan warga yang ditinggalkannya: Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Dua wadah itu terkait satu sama lain. Yang disebut pertama merupakan rumah bagi kaum nahdliyyin, sekaligus basis massa kalangan politisi ahlus-sunnah wal-jama'ah. Di era reformasi, utamanya dalam Pemilu 1999 dan 2004, massa NU seolah tersetrum lengket alias melekat pada partai politik (parpol) yang didirikan Gus Dur itu.

Pengaruh Gus Dur dalam NU dan PKB memang tak bisa disangkal. Posisi NU setelah kembali ke khittah 1926 (sejak 1984, ketika Gus Dur pertama kali mengambil alih posisi Tanfidziyah) cukup tangguh. Gus Dur menakhodainya dengan menjadikan NU "independen".

Penguasa Orde Baru pun menyeganinya. Gus Dur sendiri kian berpengaruh luas dan kuat, baik di internal NU maupun di luarnya. Pada tingkat tertentu, bahkan cucu pendiri NU itu cenderung dikultuskan sebagian kalangan; sangat fanatik.

Gus Dur benar-benar mampu mengelola dan merawat pengaruhnya itu. Sehingga ia bukan saja disegani, melainkan juga serasa dibutuhkan banyak pihak. Apa saja yang dilakukan Gus Dur kerap dijadikan sebagai acuan yang dianggap "selalu benar".

Tepatnya, tak sedikit kalangan nahdliyyin yang bersikap taklid kepadanya. Alasannya? Ia dianggap sebagai klan inti atau darah biru NU yang tak mungkin salah membawa misi NU; terlebih-lebih karena ia ahli waris NU sejati dengan kapasitas individu yang sangat kuat.

Kepemimpinan Gus Dur di NU selama tiga periode, yang terbukti sebagai pemersatu, menjadikannya tetap diharapkan. Namun karena tuntutan keadaan, pada saat ia menjadi presiden (1999), Gus Dur harus melepaskan posisinya di struktur formal organisasi kalangan Islam tradisional itu, lalu mewariskan kepada kadernya, KH Hasyim Muzadi, melalui muktamar di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.

Apalagi, pada saat itu, ia telah mendirikan PKB dan berposisi sebagai Ketua Dewan Syuro; amanah kembali ke khittah 1926 jualah yang mesti dipatuhinya: tak boleh merangkap jabatan di NU dan di parpol. Usai dilengserkan dari jabatan presiden di tengah jalan dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri, ia berkonsentrasi mengurus PKB.

Dalam sejarah keberadaan parpol ini, otoritas dan pengaruh Gus Dur sangat kuat --karena memang berposisi sebagai Ketua Dewan Syuro (replikasi dari otoritas Rais Am, yakni sebagai penentu arah kebijakan organisasi). Siapa yang berlawanan dengannya niscaya tersingkir. Matori Abdul Djalil (almarhum), Alwi Shihab, Saifullah Yusuf, dan Chairul Anam, yang menunjukkan sikap berseberangan dengannya, semuanya tersingkir.

Hanya saja, dalam konflik internal PKB terakhir, yang justru dengan Muhaimin Iskandar (keponakannya), Gus Dur terkalahkan secara hukum formal pada 2009. Kendati demikian, baik kekuatan yang tersingkir maupun yang "mengalahkan" Gus Dur itu harus mengakui ketangguhan sang patron yang membawa mereka ke jabatan kekuasaan tersebut.

Matori mendirikan Pekade (Partai Kejayaan Nasional) dan ikut Pemilu 2004, tapi tak mendapatkan suara. Kubu Alwi Shihab mendirikan PKNU untuk ikut Pemilu 2009, tapi juga gagal --hanya sebagian kecil daerah yang memperoleh kursi di DPRD. Sedangkan "PKB Muhaimin Iskandar", setelah "menyingkirkan" pendirinya itu, hanya mampu memperoleh setengah kursi parlemen nasional dibandingkan dengan lima tahun lalu.

Kondisi yang sedikit dijelaskan terakhir itulah yang, harus diakui, menjadi bagian dari luka dalam yang belum tersembuhkan hingga Gus Dur berpulang ke pangkuan-Nya. Parahnya lagi, yang berseteru adalah keluarga inti Gus Dur, antara anak (Yeni Wahid) dan keponakan (Muhaimin Iskandar), yang tampaknya sama-sama memiliki ambisi untuk merebut dan/atau mempertahankan posisi di kekuasaan politik melalui PKB.

Maka, kalau nafsu untuk berseteru terus membara akibat arogansi sendiri-sendiri, jelas mengarah pada upaya saling menghancurkan satu sama lain. Soalnya, sosok "Gus Dur baru" sebagai peredam dan pemersatu, sebagaimana pada awal PKB berjaya, belum muncul secara pasti; masih harus menunggu. Ujung-ujungnya, kalangan nahdliyyin niscaya akan menghindar dari saluran politik yang selalu tegang; akan meninggalkan PKB.

Terlebih lagi, kalau para pengurus PKB tidak memperoleh dukungan moral dan politik dari NU atau tokoh-tokohnya yang berperan di struktur formal dan basis-basis jamaah, bukan mustahil masa depan PKB akan sangat suram akibat kehilangan pendukung dari komunitas kulturalnya. Padahal, membangun dan membesarkan PKB hingga seperti sekarang ini bukan pekerjaan mudah, sangat berat dengan peran aktor atau figur yang mumpuni: diakui dan diterima banyak pihak.

Pertanyaannya sekarang: mungkinkah PKB bisa kembali menjadi saluran politik nahdliyyin sebagaimana pada awal berdirinya? Jelas bergantung pada proses dan strategi konsolidasi di dalam PKB dan NU sendiri, yang tentu saja sebagian akan ditentukan oleh kesadaran keluarga inti Gus Dur yang belakangan berseteru itu. Upaya merangkul kembali kader-kader lain yang selama ini "pisah dari PKB", seperti Chairul Anam (PKNU) dan Saifullah Yusuf (Wakil Gubernur Jawa Timur), akan menjadi faktor penguat lainnya.

Yang terpenting lagi, PKB jelas memerlukan figur berpengaruh dari NU. Selain untuk mengonsolidasikan basis-basis massa, juga menjadi "Gus Dur baru" untuk meredakan emosi "anak-anaknya yang sedang berkelahi", lalu menyadarkan untuk kepentingan yang lebih besar bagi kalangan nahdliyyin ke depan. Untuk posisi ini, saya sedang membayangkan kemungkinan figur KH Hasyim Muzadi-lah aktor barunya.

Laode Ida
Doktor ilmu politik, kini menjabat sebagai Wakil Ketua DPD-RI
[Kolom, Gatra Nomor 9 Beredar Kamis, 3 Januari 2010]


Baca Selengkapnya......