Friday, July 2, 2010

Syahwat Kemunafikan Kita

Ledakan berita Ariel-Luna memperjelas bahwa seksografik media kita masih menyedot "syahwat" publik pornografis. Sebuah potret masyarakat kita yang sedang transisi di tengah kepentingan industri ekonomi, konflik, tontonan, tuntunan agama, manipulasi, politik dan dendam, kekerasan seksual campur aduk tanpa terkontrol oleh peradaban, budaya, dan pendidikan kita.

Inilah keretakan moral yang semakin menampakkan titik jenuhnya. Ariel-Luna hanyalah momentum dari deretan sepanjang ledakan kontroversi budaya pop dari Inul, Maria Eva, hingga Dewi Persik. Namun ada magma tersembunyi yang sengaja ditutupi oleh rasa "sok suci" publik kita, dengan seringnya berteriak menudingkan jari telunjuk, tetapi tiga jarinya sedang menuding diri sendiri. Kemunafikan dan keangkuhan seperti ini sangat dimanja oleh industri hedonis yang mengelaborasi sisi lemah masyarakat untuk dijadikan komoditas yang memabukkan.

Dalam kontroversi Inul "ngebor" beberapa tahun silam, mestinya para pemimpin bangsa langsung berkontemplasi bahwa sudah sekian puluh tahun para pemimpin kita tidak menggunakan akal sehatnya untuk memimpin, bukan menggunakan emosi syahwat Inul. Bahkan para ulamanya digambarkan dalam lukisan oleh KH Mustofa Bisri berada dalam majlis zikir yang di tengah-tengahnya ada penari yang ngebor. Sebuah potret luapan syahwat yang pahit dalam beragama, dalam beritual, dan hilangnya keteladanan batin anak-anak bangsa ini.

Dan pada saat ini, tidak satu pun lembaga, ormas keagamaan, ataupun tokoh yang melihat peristiwa Ariel-Luna dengan forum kearifan, apalagi dengan "kacamata Tuhan" yang penuh dengan pancaran kasih sayang dan kelembutan. Semua muncul dengan nada marah, sekaligus pembenaran diri sendiri. Apakah kita harus meminum miras, lalu mabuk lebih dahulu untuk merasakan kenapa minuman ini diharamkan, ketika sudah mabuk kita mengharamkan miras sembari memecahkan botol-botolnya? Apa bedanya jika berjuta-juta pengguna seluler menghujat Ariel-Luna, pada saat yang sama mereka secara sembunyi menikmati video yang ada?

Sebagai umat beragama --menurut dimensi spiritual Islam (sufisme)-- tingkat kearifan seseorang harus dikedepankan dalam memandang berbagai peristiwa segelap apa pun. Teladan dari para sufi, ada cara pandang yang lebih berhikmah dalam melihat kasus video porno tersebut. Seperti dikatakan Ibnu Athaillah as-Sakandary, "Terkadang Allah menakdirkan hamba-Nya berbuat dosa, agar si hamba lebih dekat kepada-Nya...." Atau dalam hikmah lainnya, "Maksiat yang menimbulkan remuk redam jiwa di depan Allah lebih baik dibandingkan dengan ibadah yang melahirkan rasa sombong dan sok mulia...."


Terang dalam Gelap

Bukankah video itu sebagai "sindiran" Allah kepada bangsa ini agar tidak munafik dengan diri sendiri? Bukankah cahaya Allah tampak semakin jelas justru dari sisi kegelapan? Dan sebaliknya, betapa banyak kegelapan yang subur di balik ritual ibadah, atas nama Tuhan, atas nama Nabi, atas nama Islam? Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran, "Allah memasukkan malam dalam siang, dan memasukkan siang dalam malam." Yang ditafsirkan oleh para sufi, "Allah memasukkan maksiat dalam ibadah, dan memasukkan ibadah dalam maksiat"?

Nabi Adam AS dan Hawa ditakdirkan bersalah di surga, karena memang nabi, rasul, khalifah, serta bapak manusia itu harus diangkat derajatnya ketika ada di muka bumi. Derajat risalah dan nubuwwah justru muncul pasca-dosa di surga. Sebuah "rahasia Ilahi" yang sangat dramatis dan kelak menjadi pelajaran bagi anak-cucu Adam itu sendiri bahwa sebesar apa pun dosa seseorang, tidak boleh menghalangi prasangka baiknya (husnudzon) kepada Allah SWT.

Rasanya sudah terlalu jenuh kita dicekoki oleh informasi yang paradoks dalam keseharian batin kita, tapi juga respons publik yang sangat konyol dan sombong. Kelak, jika kondisi ini berlarut, akan muncul kegamangan yang membahayakan kejujuran hati kita. Luka-luka moral bukannya disembuhkan, melainkan dibiarkan meradang agar ada kompensasi musuh bersama yang kekanak-kanakan seperti yang kita lihat selama ini.

Sudah terlalu lama kita kehilangan "hikmah", bahkan kejujuran batin yang bercahaya. Jangan sampai kita terjebak pada arena yang dihuni para penjahat yang sedang berlomba membangun peradaban jahat tanpa sedikit pun merasa jahat, karena cahaya tak pernah muncul di kegelapannya.

Juga jangan terjebak pada arena terang benderang yang dihuni orang yang merasa dirinya patuh pada Tuhannya, lalu membangun peradaban "cahaya" dari kegelapan keangkuhan spiritualnya.

M. Luqman Hakim
Pengajar Pesantren Ciganjur, Jakarta
[Kolom, Gatra Nomor 33 Beredar Kamis, 24 Juni 2010]
Baca Selengkapnya......

Wednesday, February 24, 2010

Asal - Usul Nama Indonesia

Sejarah nama Indonesia
(Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)
Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan aneka nama.
Kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan").
Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", diperkirakan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi ("semuanya Jawa").
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).
Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini.
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20.


Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis
"... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians".
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:
"Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago".
Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Nama Indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan Indonesiër (orang Indonesia).
Politik
Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,
"Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia-Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."
Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak.
Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia-Belanda". Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah [Republik Indonesia].
Baca Selengkapnya......

Sunday, January 10, 2010

Politik Nahdliyyin Pasca-Gus Dur

Meninggalnya tokoh utama kalangan nahdliyyin dan guru besar nilai-nilai kebangsaan kita, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), akhir Desember lalu, tentu tak perlu disesali. Selain ia sudah berusia lanjut, 69 tahun, dengan kondisi yang tak sehat lagi, juga dedikasinya pada masyarakat, agama, dan negara yang dirasakan semua pihak. Kepergian Gus Dur memenuhi panggilan mutlak Sang Khalik itu tak perlu diratapi.

Sebab sebenarnya kita hanya kehilangan ragawi seorang figur. Sedangkan pemikiran dan roh pengabdiannya masih terus bersama masyarakat bangsa ini. Namun, kalau mau jujur diakui, kepergian Gus Dur itu masih menyisakan sejumlah problem psiko-sosio-politik bagi sebagian komunitas dan warga yang ditinggalkannya: Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Dua wadah itu terkait satu sama lain. Yang disebut pertama merupakan rumah bagi kaum nahdliyyin, sekaligus basis massa kalangan politisi ahlus-sunnah wal-jama'ah. Di era reformasi, utamanya dalam Pemilu 1999 dan 2004, massa NU seolah tersetrum lengket alias melekat pada partai politik (parpol) yang didirikan Gus Dur itu.

Pengaruh Gus Dur dalam NU dan PKB memang tak bisa disangkal. Posisi NU setelah kembali ke khittah 1926 (sejak 1984, ketika Gus Dur pertama kali mengambil alih posisi Tanfidziyah) cukup tangguh. Gus Dur menakhodainya dengan menjadikan NU "independen".

Penguasa Orde Baru pun menyeganinya. Gus Dur sendiri kian berpengaruh luas dan kuat, baik di internal NU maupun di luarnya. Pada tingkat tertentu, bahkan cucu pendiri NU itu cenderung dikultuskan sebagian kalangan; sangat fanatik.

Gus Dur benar-benar mampu mengelola dan merawat pengaruhnya itu. Sehingga ia bukan saja disegani, melainkan juga serasa dibutuhkan banyak pihak. Apa saja yang dilakukan Gus Dur kerap dijadikan sebagai acuan yang dianggap "selalu benar".

Tepatnya, tak sedikit kalangan nahdliyyin yang bersikap taklid kepadanya. Alasannya? Ia dianggap sebagai klan inti atau darah biru NU yang tak mungkin salah membawa misi NU; terlebih-lebih karena ia ahli waris NU sejati dengan kapasitas individu yang sangat kuat.

Kepemimpinan Gus Dur di NU selama tiga periode, yang terbukti sebagai pemersatu, menjadikannya tetap diharapkan. Namun karena tuntutan keadaan, pada saat ia menjadi presiden (1999), Gus Dur harus melepaskan posisinya di struktur formal organisasi kalangan Islam tradisional itu, lalu mewariskan kepada kadernya, KH Hasyim Muzadi, melalui muktamar di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.

Apalagi, pada saat itu, ia telah mendirikan PKB dan berposisi sebagai Ketua Dewan Syuro; amanah kembali ke khittah 1926 jualah yang mesti dipatuhinya: tak boleh merangkap jabatan di NU dan di parpol. Usai dilengserkan dari jabatan presiden di tengah jalan dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri, ia berkonsentrasi mengurus PKB.

Dalam sejarah keberadaan parpol ini, otoritas dan pengaruh Gus Dur sangat kuat --karena memang berposisi sebagai Ketua Dewan Syuro (replikasi dari otoritas Rais Am, yakni sebagai penentu arah kebijakan organisasi). Siapa yang berlawanan dengannya niscaya tersingkir. Matori Abdul Djalil (almarhum), Alwi Shihab, Saifullah Yusuf, dan Chairul Anam, yang menunjukkan sikap berseberangan dengannya, semuanya tersingkir.

Hanya saja, dalam konflik internal PKB terakhir, yang justru dengan Muhaimin Iskandar (keponakannya), Gus Dur terkalahkan secara hukum formal pada 2009. Kendati demikian, baik kekuatan yang tersingkir maupun yang "mengalahkan" Gus Dur itu harus mengakui ketangguhan sang patron yang membawa mereka ke jabatan kekuasaan tersebut.

Matori mendirikan Pekade (Partai Kejayaan Nasional) dan ikut Pemilu 2004, tapi tak mendapatkan suara. Kubu Alwi Shihab mendirikan PKNU untuk ikut Pemilu 2009, tapi juga gagal --hanya sebagian kecil daerah yang memperoleh kursi di DPRD. Sedangkan "PKB Muhaimin Iskandar", setelah "menyingkirkan" pendirinya itu, hanya mampu memperoleh setengah kursi parlemen nasional dibandingkan dengan lima tahun lalu.

Kondisi yang sedikit dijelaskan terakhir itulah yang, harus diakui, menjadi bagian dari luka dalam yang belum tersembuhkan hingga Gus Dur berpulang ke pangkuan-Nya. Parahnya lagi, yang berseteru adalah keluarga inti Gus Dur, antara anak (Yeni Wahid) dan keponakan (Muhaimin Iskandar), yang tampaknya sama-sama memiliki ambisi untuk merebut dan/atau mempertahankan posisi di kekuasaan politik melalui PKB.

Maka, kalau nafsu untuk berseteru terus membara akibat arogansi sendiri-sendiri, jelas mengarah pada upaya saling menghancurkan satu sama lain. Soalnya, sosok "Gus Dur baru" sebagai peredam dan pemersatu, sebagaimana pada awal PKB berjaya, belum muncul secara pasti; masih harus menunggu. Ujung-ujungnya, kalangan nahdliyyin niscaya akan menghindar dari saluran politik yang selalu tegang; akan meninggalkan PKB.

Terlebih lagi, kalau para pengurus PKB tidak memperoleh dukungan moral dan politik dari NU atau tokoh-tokohnya yang berperan di struktur formal dan basis-basis jamaah, bukan mustahil masa depan PKB akan sangat suram akibat kehilangan pendukung dari komunitas kulturalnya. Padahal, membangun dan membesarkan PKB hingga seperti sekarang ini bukan pekerjaan mudah, sangat berat dengan peran aktor atau figur yang mumpuni: diakui dan diterima banyak pihak.

Pertanyaannya sekarang: mungkinkah PKB bisa kembali menjadi saluran politik nahdliyyin sebagaimana pada awal berdirinya? Jelas bergantung pada proses dan strategi konsolidasi di dalam PKB dan NU sendiri, yang tentu saja sebagian akan ditentukan oleh kesadaran keluarga inti Gus Dur yang belakangan berseteru itu. Upaya merangkul kembali kader-kader lain yang selama ini "pisah dari PKB", seperti Chairul Anam (PKNU) dan Saifullah Yusuf (Wakil Gubernur Jawa Timur), akan menjadi faktor penguat lainnya.

Yang terpenting lagi, PKB jelas memerlukan figur berpengaruh dari NU. Selain untuk mengonsolidasikan basis-basis massa, juga menjadi "Gus Dur baru" untuk meredakan emosi "anak-anaknya yang sedang berkelahi", lalu menyadarkan untuk kepentingan yang lebih besar bagi kalangan nahdliyyin ke depan. Untuk posisi ini, saya sedang membayangkan kemungkinan figur KH Hasyim Muzadi-lah aktor barunya.

Laode Ida
Doktor ilmu politik, kini menjabat sebagai Wakil Ketua DPD-RI
[Kolom, Gatra Nomor 9 Beredar Kamis, 3 Januari 2010]


Baca Selengkapnya......