Monday, April 20, 2009

Hari Kartini

Setiap tanggal 21 April di Indonesia selalu diadakan perayaan HARI KARTINI, 21 April merupakan hari kelahiran dari Raden Ajeng Kartini istri dari Raden Adipati Ario Djojohadiningrat, Bupati Rembang yang sangat menghargai dan memberikan bantuan sepenuhnya atas usaha Kartini. Beberapa bulan sesudah pindah di kabupaten Rembang, bulan Januari 1904 ia membuka sekolah gadis di tempatnya yang baru itu. Sedangkan sekolah di halaman Kabupaten Jepara diteruskan oleh adik-adiknya.

Sayang, kebahagiaan dan usahanya itu tidak lama dapat dinikmati oleh putri agung ini. Pada tanggal 17 September 1904, lebih kurang satu tahun setelah menikah dan lima hari setelah melahirkan puteranya yang pertama, Kartini meninggal dunia, menghadap Sang Khalik untuk selama-lamanya, dalam usia sangat muda, 25 tahun.

Namun demikian, perjuangan dan cita-cita Kartini tidak terhenti sampai disitu. Tahun 1911, Mr. J.H. Abendanon, salah satu sahabat Kartini yang juga menjabat Direktur Departemen Pengajaran Hindian Belanda menerbitkan sebuah buku berjudul “Door Duisternis tot Licht”. Tahun 1923 buku ini telah mengalami cetak ulang ke-4.

Baru sekitar tahun 1938, Balai Pustaka Jakarta menerbitkan terjemahannya dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku ini berisi kumpulan sebagian dari ratusan surat Kartini kepada para sahabatnya orang Belanda yang ditulisnya antara tahun 1900 hingga 1904. Dalam surat-suratnya itu terbentang cita-cita dan tersirat duka derita batinya. Terasa didalamnya betapa jauh gagasan-gagasan Kartini meninggalkan alam feodal tempat ia dibesarkan. Betapa jauh ke depan pandangan-pandangannya dan betapa besar kasih sayangnya terhadap kaumnya.

Dikemudian hari, surat-surat Kartini itu telah menarik perhatian dunia dan diterjemahkan kedalam berbagai bahasa. Di Amerika misalnya, seorang bernama Agnes Louise Symmers menterjemahkan kedalam bahasa Inggris berjudul “Letters of Javanese Princess”. Kemudian ada terjemahan bahasa Perancis dengan judul “Letters de R.A. Kartini”, dan masih banyak lagi.
jauh sebelum kartini lahir di Jepara ada seorang bupati perempuan yang sangat disegani.
Asal-Usul Pangeran dan Ratu Kalinyamat
Nama asli Ratu Kalinyamat adalah Retna Kencana, putri Sultan Trenggana raja Demak (1521-1546). Pada usia remaja ia dinikahkan dengan Pangeran Kalinyamat.
Pangeran Kalinyamat berasal dari luar Jawa. Terdapat berbagai versi tentang asal-usulnya. Masyarakat Jepara menyebut nama aslinya adalah Win-tang, seorang saudagar Cina yang mengalami kecelakaan di laut. Ia terdampar di pantai Jepara, dan kemudian berguru pada Sunan Kudus.
Versi lain mengatakan, Win-tang berasal dari Aceh. Nama aslinya adalah Pangeran Toyib, putra Sultan Mughayat Syah raja Aceh (1514-1528). Toyib berkelana ke Cina dan menjadi anak angkat seorang menteri bernama Tjie Hwio Gwan. Nama Win-tang adalah ejaan Jawa untuk Tjie Bin Thang, yaitu nama baru Toyib.
Win-tang dan ayah angkatnya kemudian pindah ke Jawa. Di sana Win-tang mendirikan desa Kalinyamat, sehingga ia pun dikenal dengan nama Pangeran Kalinyamat. Ia berhasil menikahi Retna Kencana putri bupati Jepara, sehingga istrinya itu kemudian dijuluki Ratu Kalinyamat. Sejak itu, Pangeran Kalinyamat menjadi anggota keluarga Kesultanan Demak dan memperoleh gelar Pangeran Hadiri.
Pangeran dan Ratu Kalinyamat memerintah bersama di Jepara. Tjie Hwio Gwan, sang ayah angkat, dijadikan patih bergelar Sungging Badar Duwung, yang juga mengajarkan seni ukir pada penduduk Jepara.
Kematian Pangeran Kalinyamat
Pada tahun 1549 Sunan Prawata raja keempat Demak mati dibunuh utusan Arya Penangsang, sepupunya yang menjadi bupati Jipang. Ratu Kalinyamat menemukan keris Kyai Betok milik Sunan Kudus menancap pada mayat kakaknya itu. Maka, Pangeran dan Ratu Kalinyamat pun berangkat ke Kudus minta penjelasan.
Sunan Kudus adalah pendukung Arya Penangsang dalam konflik perebutan takhta sepeninggal Sultan Trenggana (1546). Ratu Kalinyamat datang menuntut keadilan atas kematian kakaknya. Sunan Kudus menjelaskan semasa muda Sunan Prawata pernah membunuh Pangeran Sekar Seda Lepen ayah Arya Penangsang, jadi wajar kalau ia sekarang mendapat balasan setimpal.
Ratu Kalinyamat kecewa atas sikap Sunan Kudus. Ia dan suaminya memilih pulang ke Jepara. Di tengah jalan, mereka dikeroyok anak buah Arya Penangsang. Pangeran Kalinyamat tewas. Konon, ia sempat merambat di tanah dengan sisa-sisa tenaga, sehingga oleh penduduk sekitar, daerah tempat meninggalnya Pangeran Kalinyamat disebut desa Prambatan.
Ratu Kalinyamat Bertapa
Ratu Kalinyamat berhasil meloloskan diri dari peristiwa pembunuhan itu. Ia kemudian bertapa telanjang di Gunung Danaraja, dengan sumpah tidak akan berpakaian sebelum berkeset kepala Arya Penangsang. Harapan terbesarnya adalah adik iparnya, yaitu Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, bupati Pajang, karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan bupati Jipang.
Hadiwijaya segan menghadapi Arya Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak. Ia pun mengadakan sayembara yang berhadiah tanah Mataram dan Pati. Sayembara itu dimenangi oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Arya Penangsang tewas di tangan Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan, berkat siasat cerdik Ki Juru Martani.
Serangan Pertama Ratu Kalinyamat pada Portugis
Ratu Kalinyamat kembali menjadi bupati Jepara. Setelah kematian Arya Penangsang tahun 1549, wilayah Demak, Jepara, dan Jipang menjadi bawahan Pajang yang dipimpin Sultan Adiwijaya sebagai raja. Meskipun demikian, Sultan tetap memperlakukan Ratu Kalinyamat sebagai tokoh senior yang dihormati.
Ratu Kalinyamat sebagaimana bupati Jepara sebelumnya (Pati Unus), bersikap anti terhadap Portugis. Pada tahun 1550 ia mengirim 4.000 tentara Jepara dalam 40 buah kapal memenuhi permintaan sultan Kerajaan Johor untuk membebaskan Malaka dari kekuasaan bangsa Eropaitu.
Pasukan Jepara itu kemudian bergabung dengan pasukan Persekutuan Melayu hingga mencapai 200 kapal perang. Pasukan gabungan tersebut menyerang dari utara dan berhasil merebut sebagian Malaka. Namun Portugis berhasil membalasnya. Pasukan Persekutuan Melayu dapat dipukul mundur, sementara pasukan Jepara masih bertahan.
Baru setelah pemimpinnya gugur, pasukan Jepara ditarik mundur. Pertempuran selanjutnya masih terjadi di pantai dan laut yang menewaskan 2.000 prajurit Jepara. Badai datang menerjang sehingga dua buah kapal Jepara terdampar kembali ke pantai Malaka, dan menjadi mangsa bangsa Portugis. Prajurit Jepara yang berhasil kembali ke Jawa tidak lebih dari setengah dari yang berhasil meninggalkan Malaka.
Ratu Kalinyamat tidak pernah jera. Pada tahun 1565 ia memenuhi permintaan orang-orang Hitu di Ambon untuk menghadapi gangguan bangsaPortugis dan kaum Hative.
Serangan Kedua Ratu Kalinyamat pada Portugis
Pada tahun 1564 Sultan Ali Riayat Syah raja Aceh meminta bantuan Demak untuk menyerang Portugis di Malaka. Saat itu Demak dipimpin seorang bupati yang mudah curiga, bernama Arya Pangiri, putra Sunan Prawata. Utusan Aceh dibunuhnya. Akhirnya, Aceh tetap menyerangMalaka tahun 1567 meskipun tanpa bantuan Jawa. Serangan itu gagal.
Pada tahun 1573 sultan Aceh meminta bantuan Ratu Kalinyamat untuk menyerang Malaka kembali. Ratu mengirimkan 300 kapal berisi 15.000 prajurit Jepara. Pasukan yang dipimpin oleh Ki Demang Laksamana itu baru tiba di Malaka bulan Oktober 1574. Padahal saat itu pasukanAceh sudah dipukul mundur oleh Portugis.
Pasukan Jepara yang terlambat datang itu langsung menembaki Malaka dari laut. Esoknya, mereka mendarat dan membangun pertahanan. Tapi akhirnya, pertahanan itu dapat ditembus pihak Portugis. Sebanyak 30 buah kapal Jepara terbakar. Pihak Jepara mulai terdesak, namun tetap menolak perundingan damai karena terlalu menguntungkan Portugis. Sementara itu, sebanyak enam kapal perbekalan yang dikirim Ratu Kalinyamat direbut Portugis. Pihak Jepara semakin lemah dan memutuskan pulang. Dari jumlah awal yang dikirim Ratu Kalinyamat, hanya sekitar sepertiga saja yang tiba di Jawa.
Meskipun dua kali mengalami kekalahan, namun Ratu Kalinyamat telah menunjukkan bahwa dirinya seorang wanita yang gagah berani.
Ratu Kalinyamat Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional
RATU Kalinyamat (1549-1579) masih menjadi tokoh sejarah lokal. Ya, sampai kini putri Sultan Trenggana (Raja Demak ke-3) yang juga cucu Raden Patah (pendiri Kesultanan Demak) itu masih belum berstatus sebagai pahlawan nasional, layaknya pemberani asal Aceh Cut Nyak Dien dan tokoh emansipasi wanita asal Jepara, Raden Ajeng (RA) Kartini.

Pemkab Jepara bekerja sama dengan Lembaga Penelitian (Lemlit) Sosial Budaya (Sosbud) Undip Semarang, Rabu (23/11) mengekspose sejarah Ratu Kalinyamat (RK) di aula Kantor Bappeda, dalam persiapan usulan penobatan RK menjadi Pahlawan Nasional.

Ditelisik dari literatur "Babad Demak" dan "Babad Tanah Jawi", ketokohan Ratu Kalinyamat (RK) yang memiliki nama asli Retna Kencana (termaktub dalam Serat Kandhaning Ringgit Purwa) itu tak bisa dipandang sebelah mata. Dia menjadi sedemikian tersohor pada masa Kesultanan Demak di satu sisi, dan di era imperialis Portugis pada sisi lain.

Dalam sejarah Dinasti Demak, RK bahkan lebih menonjol dibandingkan dengan Sultan Hadlirin, suaminya, juga Sunan Prawata, Raja Demak keempat sekalipun. Ratu Jepara (di masanya masih dikenal "Japara") itu, dikenal sebagai pemimpin cerdas yang berperan sebagai pusat keluarga Kesultanan Demak, sepeninggal ayahnya, Sultan Trenggana. Dalam tuturan sejarah tradisional di Jawa menyebutkan, saat itu Kerajaan Demak dalam kondisi cerai berai. Dialah (RK) yang mengasuh adik kandungnya, Pangeran Timur, yang kemudian menjadi Adipati Madiun.

Dalam "Sejarah Banten", RK disebut sebagai pengasuh Pangeran Arya, putra Raja Banten Maulana Hasanudin (1552-1570). Historiografi Banten menyebut bahwa Maulana Hasanudin (putra Sunan Gunung Jati/Fatahillah) adalah pemimpin berdarah Demak yang menjadi pendiri Kesultanan Banten.

RK "dihadiahi" wilayah Jepara dan Pati oleh Hadiwijaya (penguasa Pajang), setelah kehancuran Demak akibat prahara. Kerajaan kemudian berpindah ke Pajang dan Hadiwijaya-lah penguasa pertamanya ("Babad Tanah Jawi").

Dalam sejarah Indonesia, setelah menggantikan suaminya (Sultan Hadlirin) yang dibunuh Arya Penangsang, Jepara mengalami kemajuan tersendiri, sebelum kemudian hancur setelah kalah dalam perang mengusir penjajah Portugis yang bermarkas di Malaka pada 1512-1513 (HJ de Graaf, 1986: 125).

Menurut PJ Veth (1912), Kalinyamat (Jepara) merupakan satu dari delapan daerah merdeka yang utama di Jawa dan Madura, selain Banten, Jayakarta, Cirebon, Prawata, Pajang, Kedu, dan Madura.

Belum ada literatur yang secara jelas menyebut kapan RK wafat. Ada kemungkinan RK wafat pada 1579, yang kemudian digantikan oleh keponakan dan juga putra angkatnya, Pangeran Jepara (HJ de Graaf, 1986: 131).

Wanita Kaya

Sejarawan Portugis De Couto menyebut RK sebagai De Krainage Dame (wanita pemberani). Dia (Couto) pula yang menyebut RK sebagai sosok wanita kaya yang berkuasa (Rainha de Japara, senhora paderosa e rica).

"Dari literatur-literatur yang kami telusuri, RK merupakan satu-satunya wanita di masanya yang paling populer, karena ketokohannya di lingkup Asia Tenggara. Ini karena kiprahnya dalam perjuangannya melawan penjajah Portugis di Malaka, termasuk misi-misi niaga yang menempatkan pesisir Jepara sebagai jalur vital," kata Drs Chusnul Hayati MS, peneliti Lemlit Sosbud Undip Semarang.

Didampingi dosen sejarah Undip asal Jepara Alamsyah SSos MHum, Pembantu Dekan I Fakultas Satra Undip itu menyatakan sangat layak RK dinobatkan sebagai pahlawan nasional. "Urgensinya tentu dari sosok RK bisa diambil teladan dalam pembinaan karakter bangsa," kata Chusnul.
disadur dari :
- sragen news online
- Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
- Muhammadun Sanomae (Harian Suara Merdeka)

No comments: