Monday, April 27, 2009

Ketika Musim Caleg Stres Tiba

Calon Anggota Legislatif
Ketika Musim Caleg Stres Tiba

Harapan Kristofel Ma'ak sempat melambung tinggi. Calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Golkar untuk DPRD Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), ini sudah membayangkan enaknya menjadi anggota dewan. Sebagai wakil rakyat nanti, dirinya akan merasa terhormat dan punya gaji gede. Belum lagi ada uang ini-itu.

Pokoknya, siapa pun tahu, jadi wakil rakyat itu sungguh syik-asyik. Apa hendak dikata, lain yang diimpikan, lain pula kenyataan. Caleg pemula itu gagal memperoleh kursi. Perolehan suaranya jeblok. Bahkan pemungutan suara di tempat pemungutan suara (TPS) tempat ia mencontreng hanya menghasilkan satu suara untuknya, suaranya sendiri.

Warga Desa Babau, Kupang Timur, Kabupaten Kupang, itu kecewa berat. Usai menghadiri perhitungan suara di TPS di lingkungan tempat tinggalnya tersebut, lajang 44 tahun itu memacu motornya pulang ke rumah. Tembok pagar rumahnya sengaja diseruduk. Brak! Brak! Sepeda motor pun ringsek. Kristofel terpental berlumur darah.

Kaki kanannya patah, tulang rahangnya retak. Selama beberapa hari, Kristofel menghuni bangsal kelas III Rumah Sakit Umum Kupang. Belum lagi perawatannya tuntas, Kristofel cabut dari rumah sakit. "Beta tak mampu bayar lagi," ujarnya susah payah karena rahangnya masih cedera.

Seluruh modalnya, Rp 160 juta, amblas untuk pendaftaran, biaya tim sukses, sosialisasi, kampanye, hingga lobi-lobi kecil menjelang pemungutan suara. Putus asa karena modal usaha melayang, termasuk beberapa bidang tanah yang dilegonya, Kristofel pun gelap mata. Pemborong kecil-kecilan itu mengaku bermaksud bunuh diri.

"Beta kecewa berat, tak punya apa-apa lagi. Rasanya lebih baik mati saja," kata Kristofel, yang tadinya sangat berharap menjadi anggota dewan yang terhormat itu. Ia merasa sedikit terhibur sekaligus malu hati ketika dibesuk Sekretaris DPD Partai Golkar NTT, Cyrilus Bau Engo, yang didampingi pengurus Golkar lainnya. "Beta menyesal, mengapa harus sampai merepotkan mereka," kata Kristofel lagi.

Cyrilus Bau Engo menyesalkan tindakan korban. "Sebagai politisi seharusnya bisa siap kalah atau menang, terutama secara mental," katanya. Nasib Kristofel masih agak beruntung, setidaknya nyawanya selamat. Tapi lihatlah Sri Hartati, 23 tahun. Caleg perempuan ini meninggal karena bunuh diri.

Jasadnya ditemukan tergantung di saung di kebun kelapa di Dusun Cikadu, Desa Bangunjaya, Kecamatan Langkaplancar, Ciamis, Jawa Barat, Selasa pekan lalu. Sehelai robekan kerudung warna putih terlilit di leher caleg dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk DPRD Kota Banjar, Jawa Barat, itu.

Sri Hartati masih tercatat sebagai warga Dusun Cisauheun, Desa Situbatu, Kecamatan Banjar, Kota Banjar. Suaminya, Mastur Maulana, adalah warga Dusun Cikadu. Usai mencontreng di TPS 005 di Situbatu, suami-istri itu kembali ke Cikadu. Senin dini hari 13 April, Mastur terbangun dan mendapati istrinya tak di sampingnya lagi. Mastur melaporkan hilangnya Sri ke Kepolisian Sektor (Polsek) Langkaplancar.

Tiba-tiba, Selasa paginya, jenazah Sri ditemukan tergantung di saung oleh dua warga yang hendak menyadap nira. Menurut Kanit Reskrim Polsek Langkaplancar, Bripka Adung, korban dipastikan meninggal akibat bunuh diri. Kesimpulan ini bersandar pada hasil otopsi, keterangan saksi, dan penyelidikan polisi. Ada dugaan, korban berbuat nekat karena stres setelah gagal menjadi anggota dewan. Almarhumah hanya memperoleh delapan suara.

Mastur amat terpukul. Lebih-lebih, sang istri berpulang membawa anak pertama mereka yang masih janin berusia empat bulan lebih. Keluarga besar korban shock. Namun mereka menolak mengaitkan tindakan nekat Sri itu dengan kegagalannya menjadi legislator. Mereka juga enggan berkomentar. "Maaf, keluarga sudah mengikhlaskan," kata seorang paman Sri.

Sri tercatat sebagai mahasiswi semester IV Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Darussalam, Ciamis. Ia rajin bergaul dan aktif berorganisasi. Menurut Ketua DPC PKB Kota Banjar, Zainal Mutaqien, Sri adalah simpatisan yang direkrut PKB Muhaimin dan masuk nominasi caleg untuk memenuhi syarat keterwakilan 30% caleg perempuan.

Sri ditempatkan di daerah pemilihan I Kota Banjar, bersama sejumlah caleg PKB pemula lainnya. "Kami tidak menekankan untuk meraih suara sebanyak-banyaknya. Kami tidak membebani," kata Zainal. Ia membantah dugaan bahwa Sri telah mengeluarkan dana besar untuk pencalonannya. "Para caleg PKB tidak mengeluarkan dana banyak karena kampanyenya tidak mengerahkan massa," Zainal menjelaskan.

Namun, menurut sumber di lingkungan keluarga Sri, sebut saja Mamat, yang bersangkutan cukup banyak mengeluarkan biaya. Mamat tak tahu persis jumlah pastinya. "Untuk keluarga kami, Rp 15 juta saja, misalnya, itu sudah besar," kata Mamat. Ia telah menasihati Sri agar tidak berlebihan dan jangan terlalu berharap lolos jadi legislator. "Tetangga juga banyak yang menasihati. Tapi Sri tak menghiraukan kami," Mamat menambahkan.

Kekhawatiran keluarga dan tetangga Sri terbukti. Di TPS tempat Sri mencontreng, Sri hanya mengantongi empat suara. Pada saat itu, pihak keluarga melihat Sri begitu terpukul. Sang suami mengajaknya ke Cikadu, mungkin agar Sri dapat menenangkan diri dan melupakan kekalahannya. Nyatanya, Sri betul-betul terpukul dan memilih mengakhiri hidupnya.

Zainal Mutaqien mengaku kaget atas kematian Sri Hartati yang tragis itu. Namun, ia yakin, kematian Sri tidak terkait dengan proses pencalegannya. Kendati begitu, belajar dari kejadian ini, menurut Zainal, ke depan pihaknya akan lebih selektif menjaring bakal caleg, agar kejadian seperti dilakoni Sri tak terulang.



Setiap kali pemilu legislatif berlangsung, selalu saja diwarnai cerita menyedihkan menyangkut polah caleg yang gagal memperoleh kursi. Memang, dari pemilu yang sudah-sudah, belum diperoleh statistik mengenai berapa jumlah caleg yang stres, gila, atau bahkan bunuh diri. Namun diyakini, tren itu makin meningkat pada Pemilu 2009 ini. Setidaknya, itu terpantau dari gencarnya pemberitaan media massa.

Hampir setiap hari, media melansir berita mengenai kelakuan caleg yang gagal menjadi legislator. Dari sekadar menarik kembali sumbangan benda yang telah diberikan kepada warga, menjadi gila, meninggal mendadak, sampai bunuh diri. Kalau pada Pemilu 2004 tak ada pemberitaan mengenai caleg yang bunuh diri, stroke, atau meninggal mendadak, pada pemilu kali ini berita-berita seperti itu bermunculan.

Masih di Jawa Barat, misalnya, seorang caleg perempuan dilaporkan meninggal mendadak. Mieswati, caleg provinsi dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) daerah pemilihan IX Jawa Barat, diduga meninggal akibat serangan jantung, menyusul perolehan suaranya yang jeblok. Ia meninggal di rumahnya di Kelurahan Kersa Menak, Kecamatan Kawulu, Kota Tasikmalaya.

Di Bali, caleg dari Partai Hanura untuk DPRD Buleleng bernama Ni Putu Lilik Heliawati juga meninggal mendadak, Kamis malam pekan lalu. Seperti diberitakan media, warga Desa Bengkel, Busungbiu, Kabupaten Buleleng, ini diduga meninggal akibat serangan jantung setelah menerima telepon dari tim suksesnya bahwa perolehan suara yang bersangkutan tidak memenuhi harapan.

Sri Sumini, caleg dari Partai Demokrat untuk DPRD II Kota Solo, Jawa Tengah, juga diberitakan meninggal akibat serangan jantung setelah gagal memperoleh kursi legislatif. Menurut Sekretaris Partai Demokrat Solo, Supriyanto, almarhumah memang mengidap penyakit jantung dan diabetes. Empat hari sebelum pencontrengan, masih kata Supriyanto, Sumini ambruk dan dirawat di rumah sakit. "Kebetulan saja meninggal setelah perhitungan suara," katanya.

Sejumlah daerah lain menyimpan cerita serupa menyangkut caleg yang meninggal mendadak. Di luar itu, masih banyak cerita mengenai caleg yang mengalami gangguan jiwa. Di Karanganyar, Jawa Tengah, dilaporkan ada sembilan orang yang mengalami stres dan menjadi penghuni baru Wisma Rehabilitasi di daerah itu. Enam di antaranya adalah caleg, tiga lainnya anggota tim sukses.

Di wisma itu, sembilan orang yang mengalami stres tersebut menjadi teman baru Sumanto, si pemakan mayat. Menurut Supono Mustajab, pimpinan Wisma Rehabilitasi, sembilan orang dari berbagai partai politik yang mengalami stres itu berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Para pasien baru ini terpukul karena kalah dalam pemilu, padahal uang sudah banyak dihabiskan. "Mereka mengigau minta uang dikembalikan," ujar Supono.

Rumah Sakit Jiwa Marzoeki Mahdi (RSMM) di Bogor juga mulai kedatangan pasien dari kalangan caleg yang mengalami stres. Sampai Selasa lalu, setidaknya ada dua pasien baru, masing-masing seorang caleg dan seorang tim sukses. Keduanya berasal dari partai politik yang masuk 10 besar Pemilu 2009. Malah, menurut Humas RSMM, Farid Patutie, sebelum hajatan demokrasi digelar, rumah sakit itu kedatangan lima caleg yang sudah mengalami stres.

Para pasien dari kalangan partai politik itu mengalami gangguan jiwa ringan, berupa perasaan cemas. Di antara gejala yang mereka alami adalah sulit tidur, tidak ada nafsu makan, tidak bersemangat, dan malas ngomong. "Ini membuat keluarga mereka terganggu sehingga dibawa ke sini," kata Farid kepada Putri Mira Gayatri dari Gatra. Farid memperkirakan, pasien dari kalangan caleg lainnya masih akan berdatangan ke rumah sakit itu.

Dari Kupang dilaporkan, caleg yang mengalami stres di daerah itu juga diprediksi terus bertambah. Prediksi ini diamini Blasius Radja, psikolog dari Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang. Penyebabnya, menurut Blasius, yang bersangkutan menjadi caleg semata-mata termotivasi oleh uang dan jabatan, sementara mereka tidak mengukur diri.

Akibatnya, harapan mereka terlalu tinggi sehingga tak segan mengeluarkan biaya banyak demi mengejar harapan yang seolah di depan mata itu. "Ternyata yang diharapkan itu jauh dari kenyataan. Mereka pun jadi stres," kata Blasius. Tingkat stresnya bervariasi, tergantung seberapa rapuh mental mereka dan seberapa banyak duit yang telah ditabur.

Dalam pandangan Asep Warlan Yusuf, pengamat politik dari Universitas Parahyangan, Bandung, selain motif mengejar jabatan dan uang tadi, sistem Pemilu 2009 dinilainya turut berperan melahirkan caleg-caleg stres. Soalnya, sistem suara terbanyak memungkinkan ketidakpastian sekaligus harapan bagi setiap caleg untuk terpilih. Caleg nomor atas sama peluangnya untuk terpilih atau tak terpilih dengan caleg nomor bawah.

Ini berbeda dari saat masih menganut sistem nomor urut. Dengan sistem nomor urut, caleg nomor bawah jauh-jauh hari telah merasa tak bakal lolos sehingga tidak menggantung asanya tinggi-tinggi. Nah, perubahan sistem ini, menurut Asep, tidak diantisipasi para caleg. Mereka jorjoran menghabiskan duit --bahkan dengan mengutang atau menggadaikan harta-- demi meraih tujuan. Ketika gagal, "Semua itu menjadi beban berat luar biasa bagi mereka," tutur Asep.

Asep mengkhawatirkan, fenomena caleg stres, gila, dan bunuh diri menjadi penilaian negatif di mata masyarakat. Untuk mengantisipasinya, ke depan ia menyarankan, partai harus mengukur keuangan dan peluang si caleg. Ia mengingatkan pula, pada Pemilu 2014, jika sistem suara terbanyak tetap dipakai, para calegnya harus lebih siap.

Syukurlah, dibandingkan dengan jumlah caleg yang mengalami stres, caleg yang gagal tapi bersikap biasa-biasa saja diyakini jauh lebih banyak. Mereka boleh dibilang sudah mempersiapkan diri akan kemungkinan menghadapi kekalahan itu. Contohnya M. Asrian Mirza, caleg dari Partai Gerindra untuk DPR-RI daerah pemilihan Kalimantan Barat.

Menurut Asrian, salah satu kesiapannya adalah dengan mengedepankan motivasi bahwa ia menjadi caleg demi pengabdian lewat jalur politik. "Kalau motivasinya sejak awal adalah mencari nafkah dan mengejar jabatan, ya, memang repot," katanya. Itulah sebabnya, salah satu Ketua DPP Gerindra yang berprofesi sebagai fotografer ini tak terlalu risau akan nasib pencalegannya.

Pada saat ini, sambil menunggu hasil rekapitulasi suara yang berjalan lamban --belum jelas apakah ia terpilih atau gagal-- Asrian happy-happy saja menggelar pameran foto di Jakarta.

Taufik Alwie, Antonius Un Taolin (Kupang), Wisnu Wage Pamungkas (Bandung), dan Arif Koes Hernawan (Semarang)
[Nasional, Gatra Nomor 24 Beredar 23 April 2009]

No comments: