Monday, July 9, 2007

Lukman Al - Hakim

Lukman, Model Ayah Panutan

oleh : Muhammad Ismail Faruqi

Lukman. Orang yang ingin saya bicarakan kali ini bukan Lukman Hakim teman saya, melainkan Lukman al-Hakim yang namanya tertera di dalam al-Quran. Biasanya, orang yang namanya diabadikan dalam al-Quran memiliki outstanding achievement, sehingga Allah SWT ingin agar segenap manusia sampai akhir zaman mengambil pelajaran darinya. Pelajaran itu bisa saja diambil orang yang melakukan banyak kebaikan, seperti Adam, Sulaiman, Isa, Khaidir, dan Muhammad, atau melakukan kejahatan seperti Qarun, Abu Lahab, atau Firaun. Nama “Lukman” sendiri diabadikan sebagai judul surat ke-31 dalam Al-Quran. Dalam surat itu, Allah SWT menyediakan 1 halaman penuh pelajaran tentangnya untuk kita ambil. Pelajaran apakah itu? Apakah pelajaran seorang nabi tentang bagaimana menjadi nabi? Ternyata bukan, melainkan… pelajaran seorang ayah tentang bagaimana menjadi ayah (ceila).

AJARAN LUKMAN
Ayah adalah seorang pendidik keluarganya. Ajarannya adalah perisai yang melindungi anggota keluarganya dari api neraka. Begitu pula sosok seorang Lukman. Maka ajaran pertama yang ia berikan kepadanya adalah Tauhid.
“Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS Lukman:13)
Tauhid. Ajaran pertama ini menerangkan bagaimana menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya ilah, dan menolak tuhan-tuhan lain selain-Nya. Bagaimana mengikhlaskan segalanya untuk Allah semata. Tauhid-lah yang membedakan kesudahan setiap manusia. Maka sudah seharusnya seorang ayah mengajarkan tauhid sebagai awal bagi keluarganya. Apa pelajaran kedua?
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun…” (QS Lukman: 14)
Berbakti kepada orang tua. Inilah pelajaran kedua. Tanpa mereka berdua kita tidak dapat merasakan nikmatnya hidup. Tapi mengapa ibu yang yang ditekankan? Karena ibu jelas lebih menyayangi kita. Ia adalah wanita, yang diciptakan memiliki perasaan lebih dibandingkan laki-laki. Coba jika anaknya sakit, apa kata ibu?
“Ya Allah, pindahkan rasa sakit anakku kepadaku agar ia tidak menderita…”
Apa kata ayah? Ia lebih memiliki logika, mungkin ia akan mengatakan,
“Wah, kalau sakitnya dipindahkan padaku, bagaimana aku bisa mencari nafkah untuk menghidupi keluargaku?”
Nah lho. Lagipula, yang menanggung rasa sakit selama 9 bulan bukan ayah, tapi ibu. Yang berjuang melawan kematian saat melahirkan bukan ayah, tapi ibu. Yang memberi ASI –yang kandungan gizinya tak tergantikan oleh susu lain- selama dua tahun bukan ayah, tapi ibu. Jadi wajar dong… kalau ibu harus lebih dicintai. Wajar dong… kalau surga ada di bawah telapak kaki ibu.
Bagaimana jika ibu dan ayah menyuruh kita kepada sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah SWT? Mana yang harus kita dahulukan, Allah-kah atau ibu dan ayah-kah?
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak mempunyai ilmu tentangnya, maka janganlah engkau menaati keduanya. Dan pergauilah keduanya dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali ke jalan-Ku” (QS Lukman: 15)
Jika hal seperti itu terjadi, Allah-lah yang harus kita dahulukan. Tapi ingat, kewajiban seorang anak untuk berbakti kepada orang tuanya tetap ada. Ia harus tetap menyayangi orang tuanya walaupun mereka berbeda iman. Sungguh indah Islam dalam menghargai ibu dan ayah.
Berikutnya, apa lagi yang Lukman ajarkan kepada keluarganya?
“Wahai anakku! Sungguh jika ada (suatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu, atau di langit, atau dibumi… niscaya Allah akan memberinya balasan. Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Teliti.” (QS Lukman: 16)
Takut kepada Allah. Pelajaran ketiga ini adalah inti dari kelakuan seseorang. Lukman mengajarkan anggota keluarganya agar tidak korupsi, tidak membunuh, tidak berbohong karena takut kepada Allah. Sebelum semua hukum, semua sanksi, dan semua sistem untuk mengatur kehidupan manusia dibuat, manusia itu harus takut kepada Allah terlebih dahulu. Buang rasa takutmu pada-Allah, maka engkau bebas melakukan apa saja. Iya kan? Kita sudah melihat buktinya di negeri kita ini…
Berikutnya (ayat 17-19), Lukman menyuruh pada kita agar menegakkan shalat, amar ma’ruf nahi munkar, bersabar atas apa yang menimpa kita, melarang sombong dan membanggakan diri dalam berinteraksi dengan sesama manusia, berjalan tanpa rasa angkuh, dan melunakkan suara. Subhanallah, Lukman telah menunjukkan apa yang harus dilakukan sebagai seorang ayah.
KUNCI SUKSES LUKMAN
Mengapa Lukman sukses sebagai seorang ayah? Allah SWT menjelaskan sebabnya bahwa,
“Dan sungguh telah Kami berikan hikmah kepada Lukman…” (QS Lukman: 12)
Kuncinya sukses Lukman adalah hikmah. Apa itu hikmah? Para ulama sepakat bahwa hikmah adalah pemahaman tentang agama yang benar, detail, dan komprehensif. Siapa yang memiliki pemahaman agama yang benar, ia telah diberi kebaikan yang banyaaa..ak sekali dari Allah. Bisa nggak kita diberi hikmah seperti Lukman?
“Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali ulul-albaab.” (QS Al-Baqarah: 269)
Ups, ternyata hikmah adalah hak prerogatif Allah! Tidak semua orang diberikan hikmah! Jumlah orang yang memiliki pemahaman agama yang komprehensif itu ternyata sedikit. Makanya jika ada headline berita:
“5000 ulama berkumpul di Jawa Timur untuk melakukan istighosah…”
Itu tandanya di Indonesia tengah terjadi inflasi ulama, he he. Lantas, kalau hikmah adalah hak Allah, bagaimana kita dapat mengambil hikmah? Untungnya, pada ayat di atas Allah menyebutkan bahwa probabilitas tertinggi orang yang diberi hikmah oleh Allah ada pada ulil-albab. Siapa itu? Ulil-albab dijelaskan Allah pada ayat yang kita sering dengar, bahwa mereka adalah,
“…orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, (seraya berkata,) “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, lindungi kami dari azab neraka.” (QS Ali-Imran: 191)
Jelas kan? Ulil-albab, orang yang memiliki probabilitas tertinggi untuk diberi hikmah adalah orang yang:
Selalu mengingat Allah dalam seluruh aktivitas hidupnya (berdiri, duduk, dan berbaring). Ia memperhatikan ayat qauliyah-Nya,
Selalu memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. Ia memperhatikan ayat kauniyah-Nya, dan
Sebagai hasil tafakkur-nya pada ayat kauliyah dan kauniyah Allah, ia menarik kesimpulan: “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia”.
Nah, ulil-albab seperti itulah yang dapat menjadi seorang ayah seperti Lukman, yang senantiasa memberi pelajaran berharga pada keluarganya, serta bersyukur kepada Allah. Itulah kematangan spiritual yang dibutuhkan seorang ayah dari seorang pria saat ia menyerahkan perwalian anak gadisnya kepada pria tersebut (ceila..). Marriage isn’t just about loving and feeding, isn’t it? It’s also guiding and teaching…
disadur dari: ismailfaruqi.wordpress.com

No comments: